Sapardi Djoko Damono, Hujan yang Tak Pernah Usai

Sapardi Djoko Damono adalah sang penyair, sastrawan, dan akademisi, yang kelak menjadi penjaga kata, penata sunyi, dan perangkai makna.-Makansedap.id-FIB
JAKARTA, Makansedap.id - Di sebuah pagi yang temaram di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940, langit seolah menyimpan bisikan puisi yang kelak menjelma manusia. Dia bernama Sapardi Djoko Damono, penyair, sastrawan, dan akademisi, yang kelak menjadi penjaga kata, penata sunyi, dan perangkai makna di antara detik-detik kehidupan Indonesia yang gemuruh.
Lelaki bersahaja itu tumbuh dalam lirih dan lengang, melintasi waktu dengan mata yang peka membaca dunia. Sapardi Djoko Damono menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada, lalu menaburkan benih-benih ilmu di Universitas Indonesia sebagai dosen sastra.
Tapi bukan hanya di ruang kelas Sapardi Djoko Damono berkisah. Dunia sesungguhnya, dia tulis lewat bait-bait yang tak pernah berteriak, namun mampu mengguncang jiwa.
Karya Sapardi Djoko Damono yang paling dikenang, Hujan Bulan Juni dan puisi Aku Ingin, tak bermegah dengan kata-kata, tak berkilau oleh metafora yang rumit. Dia memilih kesederhanaan, dan di sanalah letak kekuatannya
BACA JUGA:Dari Laboratorium Menuju Panggung Komedi, Kisah Rowan Atkinson Sebelum Menjadi Mr Bean.
Dalam kata-kata yang tenang, Sapardi Djoko Damono menyimpan samudera emosi dan filosofi kehidupan yang dalam. Puisinya bukan untuk dibaca dengan mata, tapi dirasa dengan hati.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,” tulis Sapardi Djoko Damono dengan tenang.
Sederhana, tapi abadi. Seperti hujan yang jatuh diam-diam, menyuburkan ingatan, menumbuhkan rindu.
Tak hanya sebagai penyair, Sapardi Djoko Damono adalah jembatan antarbahasa, menerjemahkan karya asing, menulis esai, dan menyelami kritik sastra dengan ketajaman pemikiran.
BACA JUGA:Aroma Kenangan dalam Semangkuk Soto Betawi Bang Joe
Seperti dilansir dari berbagai sumber yang dirangkum Makansedap.id, Rabu, 30 Juli 2025, Sapardi Djoko Damono juga menulis novel, dan Hujan Bulan Juni menjelma tidak hanya dalam kata, tapi dalam musik, layar, dan panggung. Puisinya melintasi batas medium, menjadi napas dalam berbagai bentuk seni.
Selama hidupnya, Sapardi Djoko Damono menerima banyak penghargaan, termasuk SEA Write Award dan penghargaan Achmad Bakrie.
Namun, Sapardi Djoko Damono tak pernah merasa perlu menyebutnya. Karena bagi Sapardi Djoko Damono, menulis bukan tentang pujian, melainkan tentang menyampaikan rasa yang mungkin tak pernah sanggup diucapkan.
Pada 19 Juli 2020, di Jakarta yang panas dan gelisah, Sapardi Djoko Damono kembali kepada keabadian. Namun hujan tak pernah benar-benar berhenti.